LEMBAGA PENDIDIKAN MA'ARIF NU CABANG PACITAN
Jalan HOS.COKROAMINONOTO NO: 9 b PACITAN TLP. ( 0357 ) 881223
Jumat, 12 September 2014
Minggu, 26 Mei 2013
BEBERAPA PERBEDAAN SYI'AH DAN AHLUSSUNAH
Mereka Membolehkan ‘Berhubungan’ Dengan Budak Orang Lain
Mereka Membolehkan ‘Berhubungan’ Dengan Budak Orang Lain
Di antara kesesatan Rafidhah adalah: Mereka membolehkan seseorang melakukan jima’ dengan budak orang lain jika pemiliknya mengizinkan. Al-Hulli berkata, “Boleh ‘berhubungan’ dengan budak milik orang lain dengan syarat yang mengizinkannya adalah orang yang bisa memerdekakannya dan sudah diakui hak kepemilikannya, serta budak tersebut halal bagi orang yang akan ‘berhubungan’ dengannya[1].
Cukuplah sebagai bantahan terhadap kebatilan ini adalah firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki.” (QS. Al-Mu`minun: 5-6)Dan sudah diketahui bersama bahwa ‘berhubungan’ dengan budak orang lain bukanlah pernikahan dan budak itu juga bukan budaknya. Read the rest of this entry »
Nikah Sirri Versi Syiah Rafidhah
Nikah Sirri Versi Syiah Rafidhah
Di antara kesesatan Syiah Rafidhah adalah: Mereka membolehkan nikah tanpa adanya wali dan tanpa saksi-saksi, padahal ini jelas merupakan perbuatan zina. Salah seorang ulama mereka yang bernama Al-Hulli berkata, “Tidak dipersyaratkan adanya wali dalam pernikahan wanita dewasa, dan juga tidak dipersyaratkan adanya saksi-saksi dalam semua akad yang berkenaan dengan pernikahan. Seandainya kedua calon mempelai sengaja menyembunyikan pernikahan mereka, maka pernikahannya tidaklah batal.[1]”
Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لا نِكاحَ إلاَّ بِوَلِيٍّ وَشاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada pernikahan yang syah tanpa adanya wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Asy-Syafi’i, Ath-Thabrani, Ad-Daraquthni, dan Al-Baihaqi[2])
Walaupun sanad hadits ini terputus, akan tetapi para ulama tetap berpendapat dengan kandungannya.
Dari Abu Musa dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لا نِكاحَ إلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada pernikahan yang syah tanpa adanya wali.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmizi, dan Al-Hakim[3])
Al-Hakim berkata, “Riwayat tentangnya telah shahih dari para istri Nabi shallallahu alaihi wasallam seperti: Aisyah dan Zainab bintu Jahsy. Dalam permasalahan ini juga ada hadits dari Ali dia berkata:
لا نِكاحَ إلاَّ بِوَلِيٍّ وَشاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada pernikahan yang syah tanpa adanya wali dan dua orang saksi yang adil.[4]”
Juga ada hadits dari Ibnu Abbas[5] dan selainnya.” Lalu beliau membawakan total 30 nama orang sahabat.
Nikah Mut’ah (Kontrak)
Nikah Mut’ah (Kontrak)
Di antara kesesatan mereka: Mereka
membolehkan nikah mut’ah, bahkan mereka menganggapnya lebih baik
daripada 70 kali pernikahan sebenarnya (yang syar’i). Salah seorang
syaikh mereka yang ekstrim yang bernama Ali bin Al-Ali bahkan
membolehkan 11 orang lelaki melakukan mut’ah dengan satu orang wanita
dalam satu malam. Jika wanita ini akhirnya hamil dan melahirkan anak,
maka kesebelas orang ini harus diundi. Siapa yang namanya terpilih maka
anak itu menjadi anaknya.
Saya berkata: Nikah mut’ah ini persis
seperti pernikahan ala jahiliah yang telah dibatalkan oleh syariat,
sebagaimana yang tersebut dalam Ash-Shahih[1].
Dari Ali dia berkata[2]:
رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ نِكاحِ الْمُتْعَةِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah[3].” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan selainnya[4])
Dan dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiallahu anhu:
أنه صلى الله عليه وسلم أباحَ نِكاحَ الْمُتْعَةِ ثُمَّ حَرَّمَها
Bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam
pernah membolehkan nikah mut’ah kemudian beliau mengharamkannya.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim[5]) Dan Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Saburah[6] dengan lafazh yang mirip dengannya.
Dari Ibnu Umar beliau berkata:
نَهانا عَنْها – يَعْنِي المُتْعَةَ – رسولُ الله صلى الله عليه وسلم
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
melarang kami melakukannya – maksudnya mut’ah -.” (HR. Ath-Thabrani
dengan sanad yang kuat[7])
Juga telah dinukil dari Ibnu Abbas pernyataan rujuknya beliau dari pembolehan mut’ah[8]
Imam Harus Ma’shum
Imam Harus Ma’shum
Di antara kesesatan mereka (Rafidhah) adalah: Mereka mensyaratkan seorang imam haruslah orang yang ma’shum (terjaga dari dosa). Mereka juga menyatakan bahwa Allah wajib tidak membiarkan satu pun zaman kosong dari seorang imam yang ma’shum. Lalu mereka membatasi imam[1] yang ma’shum itu hanya pada 12 orang imam mereka[2].
Batilnya aqidah ini, kontradiktifnya, dan bagaimana aqidah ini mengandung adab yang buruk kepada Allah sangat jelas sehingga tidak perlu disebutkan. Dengan pendapat mereka ini, mereka telah membatalkan pensyariatan shalat berjamaah (bersama imam), yang mana shalat berjamaah ini termasuk dari syiar-syiar Islam yang tertinggi. Mereka tidak mempunyai bagian dari syiar ini[3], sehingga mereka mengharamkan kemuliaan yang tinggi ini dari diri mereka sendiri. Read the rest of this entry »
Menjamak Dua Shalat Tanpa Uzur
J
Menjamak Dua Shalat Tanpa Uzur
Di antara kesesatan mereka adalah mereka membolehkan untuk menjamak antara zuhur dengan ashar dan antara magrib dengan isya tanpa ada uzur.
Padahal At-Tirmizi telah meriwayatkan dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الْكَبَائِرِ
“Barangsiapa menjamak antara dua shalat tanpa udzur, maka ia telah mendatangi salah satu pintu dari pintu pintu dosa besar.[1]“Dan juga ada riwayat yang menyebutkan bahwa di antara tanda-tanda hari kiamat adalah mengundurkan pelaksanaan shalat dari waktu-waktunya. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu bahwa beliau menjamak antara dua ashar (baca: Zuhur dengan ashar) dan antara dua isya (baca: Magrib dengan isya)[2], maka ditafsirkan bahwa beliau mengerjakan shalat yang pertama di akhir waktu dan mengerjakan shalat yang kedua di awal waktu (sehingga seakan-akan dijamak, pent.) Wallahu a’lam.
Mereka Menambah-Nambah Lafazh Azan
Mereka Menambah-Nambah Lafazh Azan
Di antara kesesatan mereka adalah:Pada zaman-zaman belakangan ini, mereka menambahkan pada bacaan azan, iqamah, dan bacaan tasyahud setelah dua kalimat syahadat, mereka menambahkan kalimat: ‘Bahwa Ali adalah wali Allah’.
Ini adalah bid’ah yang bertentangan dengan agama, tidak ada satu pun dalil dari kitab dan sunnah yang menunjukkan tambahan kalimat ini. Juga tidak ada ijma’ yang mendukungnya, tidak pula qias yang benar. Bahkan hal ini juga bertentangan dengan pengikut mazhab mereka. Karenanya kesesatan ini tidak perlu dibantah(1).
[Diterjemah dari Risalah fii Ar-Radd ala Ar-Rafidhah hal. 84-85]
__________________
(1) Di antara kalimat yang Syiah tambahkan ke dalam lafazh-lafazh azan adalah, ‘Hayya ‘ala khairil ‘amal’ (mari menuju amalan yang terbaik), yakni shalat. Dan ini merupakan bid’ah.
Ibnu Taimiah berkata dalam Minhaj As-Sunnah (6/293-294), “Mereka -maksudnya Rafidhah- telah menambahkan dalam azan suatu syiar (kalimat) yang tidak pernah diketahui adanya pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tidak ada seorang pun yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan hal itu dalam azan. Kalimat yang dimaksud adalah: ‘Hayya ‘ala khairil ‘amal’.”
Mereka Meyakini Ar-Raj’ah (Reinkarnasi)
Mereka Meyakini Ar-Raj’ah[i] (Reinkarnasi)
(Diantara kesesatan Syi’ah Rafidhah) : adalah apa yang
telah diucapkan oleh orang yang paling sesat di kalangan mereka yaitu
Muhammad Baabuuyah Al-Qummiy[ii] tentang akidahnya dalam pembahasan keimanan terhadap Ar-Raj’ah(reinkarnasi) :
“Sesungguhnya mereka(para Nabi) –semoga shalawat
terlimpahkan atas mereka- mengatakan : barangsiapa yang tidak mengimani
reinkarnasi kami maka ia tidak termasuk golongan kami”
Seluruh ulama mereka (Syi’ah Rafidhah) berpendapat seperti ini, mereka mengatakan :
“Sesungguhnya Nabi shallallahu’alaihiwasallam, Ali
radhiyallahu anhu dan para imam yang dua belas orang itu akan hidup
kembali pada akhir zaman dan akan dikumpulkan setelah keluarnya Al-Mahdi
dan membunuh Dajjal, dan akan dihidupkan seluruh khalifah yang tersisa
(Abu Bakar, Umar & Utsman radhiyallahu ‘anhum) dan para imam yang
terbunuh, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan membunuh para
khalifah sebagai hukum had dan para imam akan mengqishash dan menshalib
orang-orang yang dzalim, mereka mulai dengan menshalib Abu Bakar dan
Umar di atas pohon”.
Ada seseorang (di antara mereka) yang mengatakan :
“sesungguhnya pohon itu lembab kemudian menjadi kering setelah keduanya
disalib padanya”, dengan demikian tersesatlah kebanyakan dari pengikut
kebenaran seraya berkata : “kita telah mendzalimi mereka”
Ada pula yang mengatakan : “pohon itu kering kemudian
menghijau setelah keduanya disalib, dengan demikian kebanyakan dari
orang-orang yang mencintai keduanya mendapatkan hidayah”.
Disebutkan pada buku-buku mereka bahwasanya pohon itu
adalah pohon kurma yang sangat tinggi sehingga dapat dilihat oleh
penduduk timur dan barat, dan setelah itu dunia ini akan tetap ada
sampai lima puluh ribu tahun (akan datang), ada yang mengatakan seratus
dua puluh ribu tahun, bagi setiap Imam yang dua belas itu memiliki umur
dua belas ribu tahun, sebagian mereka mengatakan : “kecuali Al-Mahdi,
ia hanya memiliki umur delapan puluh ribu tahun, kemudian setelah itu
Nabi Adam dihidupkan, kemudian Asy-Syiitsiy, Nabi Idris, Nabi Nuh,
kemudian para nabi yang tersisa hingga berakhir dengan Al-Mahdi, dunia
ini (menurut Syi’ah Rafidhah) tidak akan punah dan akhirat itu tidak
akan datang”.
Demikian hal ini dinukil darinya wallahu a’lam.
Mereka Menyelisihi Ahlussunnah Wal Jama’ah
Mereka Menyelisihi Ahlussunnah Wal Jama’ah
Mereka menjadikan penyelisihan mereka terhadapa Ahlussunnah
yaitu orang-orang yang berada di atas tuntutunan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dan para shahabatnya sebagai sumber kebahagiaan,
sehingga apa saja yang dikerjakan oleh Ahlussunnah maka mereka akan
tinggalkan, (dan sebaliknya) jika (Ahlussunnah) meninggalkan sesuatu
maka mereka mengerjakannya dengannya mereka keluar dari Agama secara
garis besar, sesungguhnya syaithan telah menggoda dan menuntun mereka ,
dan mereka mengklaim bahawa penyelisihan ini merupakan alamat bahwa
mereka adalah Firqoh An-Najiyyah(kelompok yang selamat). [Lihat
Ramadhatul Jannaat 6/306]
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Al-Firqoh An-Najiyah(kelompok yang selamat itu adalah Sawadul
A’dzom(kelompok terbesar) dan apa yang aku dan para shahabatku berada
diatasnya”.[1
Maka hendaknya diperhatikan kelompok-kelompok tersebut,
keyakinan(akidah) dan amalan mereka, jika mencocoki (tuntunan) Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya maka ia merupakan
Al-Firqoh An-Najiyah(kelompok yang selamat).
Selain Mereka Akan Kekal Dalam Neraka
Selain Mereka Akan Kekal Dalam Neraka
Di antara ucapan mereka sebagaimana dalam (kitab) “syarah At-Tajriid” Al-Hulliy (tokoh besar syi’ah) mengatakan :
“Imam-imam (Syi’ah Rafidhah) berselisih tentang : apakah
firqoh-firqoh(selain Rafidhah) dalam Islam itu akan keluar dari Neraka
dan akan masuk ke Surga ataukah semua firqoh itu akan kekal dalam
Neraka?”, ia berkata : kebanyakan (Imam Syi’ah Rafidhah) di atas
pendapat kedua dan Asy-Syardzamah memilih pendapaat pertama, Ibnu
Naubakhat berkata : “mereka akan keluar dari Neraka dan tidak akan masuk
ke Surga akan tetapi mereka berada di Al-A’raaf. (Mukhtashar At-Tuhfah
Al-Itsnaa ‘Asyariyah : halaman 207).
Keyakinan ini dibangun di atas dasar akidah mereka
bahwasanya kaum muslimin (selain mereka) adalah kafir atau fasiq, yang
bersamaan dengan itu mereka meyakini bahwasanya orang yang fasik kekal
di dalam neraka. Konsekwensi dari keyakinan mereka adalah mendustakan
apa-apa yang telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
berupa keluarnya pelaku maksiat dari kalangan orang-orang yang
bertauhid dari neraka, sebagaimana dalam hadits Anas radihyallahu ‘anhu
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Akan keluar dari neraka suatu kaum setelah mereka di bakar
dalam neraka, kemudian mereka akan masuk ke dalam surga. Penduduk surga
menamakan mereka dengan Jahannamiyyun” (riwayat Al-Bukhary nomor
6559).
Al-Hasan Radhiallahu anhu Tidak Mempunyai Keturunan
Al-Hasan Radhiallahu anhu Tidak Mempunyai Keturunan[1]
Di antara ucapan mereka
adalah bahwa Al-Hasan bin Ali tidak mempunyai penerus keturunan, bahwa
keturunan beliau sudah tidak ada, dan bahwa tidak ada seorang pun dari
penerus keturunannya yang laki-laki.
Ucapan ini tersebar di
kalangan mereka dan mereka bersepakat di atasnya sehingga tidak perlu
untuk dibuktikan, demikian komentar mereka. Di antara mereka ada yang
mengklaim bahwa … (tidak jelas maksudnya) semuanya sama seperti mereka.
Mereka menggunakan ucapan ini untuk bisa sampai kepada tujuan mereka
yaitu membatasi ke’imam’an hanya pada anak keturunan Al-Husain[2],
dan di antara anak keturunannya adalah kedua belas imam itu. Dengannya
mereka bertujuan untuk membatalkan ke’imam’an para ulama yang berdakwah
dari kalangan anak keturunan Al-Hasan, bersamaan dengan keutamaan
mereka, terpenuhinya syarat-syarat ke’imam’an pada mereka, orang-orang
telah membaiat mereka, syahnya penisbatan keluarga mereka kepada
Al-Hasan, dan tersebarnya ilmu mereka, dimana mereka semua telah
mencapai derajat mujtahid mutlak. Maka semoga Allah membinasakan mereka
atas kedustaan yang mereka ada-adakan tersebut.
Perhatikanlah mereka
musuh-musuh ahlul bait yang mengganggu Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dan Fathimah, ketika mereka mengingkari nasab orang yang
terbukti syah nasabnya secara pasti dari anak keturunan Al-Hasan
radhiallahu anhu, dan kebenaran penisbatan keturunannya telah mutawatir[3]
dan tidak tersembunyi dari setiap orang yang mempunyai ilmu dalam
masalah ini. Dan sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam telah
menggolongkan perbuatan mencela nasab termasuk dari perbuatan-perbuatan
jahiliah[4].
Dan telah datang dalam sebuah riwayat yang menunjukkan bahwa Imam Mahdi
itu berasal dari anak keturunan Al-Hasan radhiallahu anhu, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan selainnya[5]. Read the rest of this entry »
WAKTU YANG DI LARANG MELAKUKAN SHOLAT
ALASAN TIDAK DI PERBOLEH KAN SHOLAT PADA WAKTU - WAKTU TERTENTU
‘Uqbah bin ‘Amir z berkata:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ n يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ
فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ
الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ يَقُوْمُ قَائِمُ
الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّف لِلْغُرُوْبِ
حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada tiga waktu di mana Nabi n melarang kami untuk melaksanakan
shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu
ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah
hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan
di timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari
miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim no.
1926)
Dalam hadits di atas kita pahami ada tiga waktu yang terlarang bagi kita untuk melaksanakan shalat di waktu tersebut, yaitu:
1. Ketika matahari terbit sampai tinggi
2. Saat matahari di tengah langit, ketika tidak ada bayangan benda di timur dan di barat
3. Ketika matahari hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri z disebutkan, termasuk waktu yang
dilarang untuk shalat adalah setelah shalat subuh sampai matahari tinggi
dan setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam. Rasulullah n
bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada
shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586
dan Muslim no. 1920)
Adapun sebab dilarangnya shalat di tiga waktu di atas (pada hadits ‘Uqbah bin ‘Amir z) disebutkan dalam hadits berikut ini:
‘Amr bin ‘Abasah z mengabarkan tentang pertemuannya dengan Nabi n di
Madinah setelah sebelumnya ia pernah bertemu dengan beliau ketika masih
bermukim di Makkah. Saat bertemu di Madinah ini, ‘Amr bertanya kepada
beliau tentang shalat maka beliau memberi jawaban:
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى
تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ
تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا
الْكُفَّارُ؛ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُوْرَةٌ،
حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّّ أَقْصِرْ عَنِ
الصَّلاَةِ، فَإِنَّ حِيْنَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ. فَإِذَا أَقْبَلَ
الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُوْدَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى
تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ
الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ
يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat
ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara
dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.
Kemudian shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para
malaikat) hingga tombak tidak memiliki bayangan, kemudian tahanlah dari
mengerjakan shalat karena ketika itu neraka Jahannam dinyalakan/dibakar
dengan nyala yang sangat. Apabila telah datang bayangan (yang jatuh ke
arah timur/saat matahari zawal) shalatlah karena shalat itu disaksikan
dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mengerjakan shalat ashar
(terus boleh mengerjakan shalat sampai selesai shalat ashar, pent.),
kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat hingga matahari tenggelam
karena matahari tenggelam di antara dua tanduk syaitan dan ketika itu
orang-orang kafir sujud kepada matahari.” (HR. Muslim no. 1927)
Al-Imam An Nawawi t berkata, “Umat sepakat tentang dibencinya shalat
yang dikerjakan tanpa sebab pada waktu-waktu terlarang tersebut. Mereka
juga sepakat bolehnya mengerjakan shalat fardhu yang ditunaikan pada
waktu-waktu terlarang tersebut. Adapun untuk shalat nawafil (shalat
sunnah) yang dikerjakan karena ada sebab, mereka berbeda pendapat.
Seperti shalat tahiyatul masjid, sujud tilawah dan sujud syukur, shalat
id, shalat kusuf (gerhana), shalat jenazah dan mengqadha shalat yang
luput dikerjakan. Mazhab Asy-Syafi’i dan satu kelompok membolehkan semua
itu tanpa ada karahah (kemakruhan). Mazhab Abu Hanifah dan yang lainnya
memandang semuanya masuk ke dalam larangan karena keumuman
hadits-hadits yang melarang. Al-Imam Asy-Syafi’i t dan orang-orang yang
sependapat dengannya berargumen bahwa telah tsabit (shahih) dari
perbuatan Nabi n bahwa beliau mengqadha shalat sunnah yang mengikuti
shalat zuhur setelah shalat ashar1. Ini jelas menunjukkan tentang
bolehnya mengqadha shalat sunnah yang luput dikerjakan pada waktunya.
Tentunya kebolehan untuk mengerjakan shalat sunnah yang memang pada
waktunya lebih utama lagi. Dan mengerjakan shalat faridhah (wajib) yang
diqadha karena luput dari waktunya lebih utama lagi. Termasuk dalam
kebolehan ini adalah shalat yang dikerjakan karena ada sebab.”
(Al-Minhaj, 6/351)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata setelah membawakan ucapan
Al-Imam An-Nawawi t di atas, “Penukilan ijma’ dan kesepakatan oleh
Al-Imam Nawawi perlu dikomentari. Karena, selain beliau telah
menghikayatkan dari sekelompok salaf tentang bolehnya shalat di
waktu-waktu terlarang secara mutlak sementara hadits-hadits yang
melarang tersebut mansukh (dihapus hukumnya) –menurut pendapat Dawud dan
selainnya dari ahlu zahir, dan ini yang dipastikan oleh Ibnu Hazm t–;
ada pula penghikayatan dari kelompok yang lain tentang larangan secara
mutlak dalam seluruh shalat. Didapatkan adanya berita yang shahih dari
Abu Bakrah dan Ka’b bin Ujrah tentang larangan mengerjakan shalat fardhu
pada waktu-waktu terlarang ini. Ulama yang lainnya menghikayatkan
adanya ijma’ tentang bolehnya shalat jenazah di waktu-waktu yang makruh.
Namun pendapat ini perlu dikomentari dengan penjelasan yang akan datang
pada babnya. Ibnu Hazm t dan selainnya ketika menyatakan mansukh-nya
hadits yang menyebutkan waktu-waktu terlarang shalat, mereka bersandar
dengan hadits:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَلْيُصَلِّ إِلَيْهَا أُخْرَى
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka hendaklah ia mengerjakan rakaat yang berikutnya.”
Maka ini menunjukkan bolehnya shalat pada waktu-waktu yang dilarang.
Namun yang lainnya mengatakan, “Pengkhususan (takhshish) lebih utama
daripada menganggap adanya naskh. Sehingga pelarangan ini dibawa kepada
pemahaman bahwa yang dilarang adalah shalat yang dikerjakan tanpa adanya
sebab. Adapun shalat yang memiliki sebab maka dikhususkan dari
pelarangan (yakni boleh dilakukan di waktu-waktu terlarang, pent.) dalam
rangka menggabungkan di antara dalil-dalil yang ada.” (Fathul Bari,
2/78)
Penulis Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam berkata, “Ulama berbeda
pendapat tentang shalat di waktu-waktu terlarang. Jumhur ulama
berpandangan dibencinya mengerjakan shalat di waktu tersebut. Mereka
berdalil dengan hadits-hadits yang shahih ini dan selainnya. Zahiriyah
berpandangan bolehnya shalat di waktu tersebut. Adapun hadits-hadits
yang melarang, mereka mengatakannya mansukh. Namun semua hadits yang
mereka anggap mansukh, ulama menjadikannya termasuk bab membawa nash
yang muthlaq kepada yang muqayyad, atau membangun yang khusus di atas
yang umum. Tidak perlu menghukumi mansukh kecuali bila nash-nash
tersebut tidak mungkin dikumpulkan/digabungkan. Sementara nash-nash
dalam masalah ini mungkin bahkan mudah dikumpulkan.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, shalat apa sajakah yang dilarang untuk dikerjakan di waktu-waktu tersebut?
Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah berpandangan yang dilarang
adalah seluruh shalat sunnah kecuali dua rakaat thawaf. Mereka berdalil
dengan keumuman larangan yang disebutkan dalam hadits-hadits.
Asy-Syafi’iyyah dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, serta pendapat
yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan sekelompok muridnya,
yang dilarang adalah shalat-shalat sunnah yang dikerjakan tanpa sebab.
Adapun yang memiliki sebab seperti shalat tahiyatul masjid bagi orang
yang masuk masjid, shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu, maka
dibolehkan ketika ada sebabnya di waktu apa saja. Dalil mereka dalam hal
ini adalah hadits-hadits khusus yang menyebutkan tentang shalat-shalat
ini sebagai pengkhususan bagi hadits-hadits yang berisi pelarangan
secara umum2.
Dengan pendapat ini terkumpullah dalil-dalil seluruhnya dan bisa diamalkan seluruh hadits dari dua pihak yang berbeda pendapat.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, apakah larangan yang ada
dimulai pada waktu subuh dari mulai terbitnya fajar kedua atau dimulai
dari pengerjaan shalat subuhnya?
Hanafiyyah berpendapat pelarangan dimulai dari waktu terbitnya fajar
kedua. Pendapat ini juga masyhur dari mazhab Hanabilah. Mereka berdalil
dengan beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Ashabus
Sunan Al-Arba’ah (penulis kitab Sunan yang empat) dari Ibnu ‘Umar c,
“Bahwasanya Nabi n bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْفَجْرِ إِلاَّ سَجْدَتَيْنِ
“Tidak ada shalat setelah fajar kecuali dua sujud (shalat dua rakaat).”
Hadits ini menunjukkan haramnya mengerjakan shalat sunnah setelah
terbitnya fajar kecuali dua rakaat qabliyah fajar. Karena yang dimaukan
dari penafian (peniadaan dalam hadits di atas dengan lafadz: “Tidak ada
shalat….”-pent.) adalah pelarangan. Mayoritas ulama berpendapat larangan
dimulai dari selesai pelaksanaan shalat fajar (yakni tidak ada shalat
sunnah yang dikerjakan setelah mengerjakan shalat fajar/subuh, pent.)
bukan dimulai dari terbitnya fajar. Mereka berdalil dengan beberapa
hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Sa’id
z:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari ‘Umar ibnul Khaththab z, bahwasanya Nabi n bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits-hadits selainnya yang banyak lagi shahih.
Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama, ada maqal
(masih diperbincangkan). Tidak bisa dihadapkan dengan semisal
hadits-hadits ini.” (Taisirul ‘Allam, 1/129)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Ummu Salamah x berkata:
صَلَّى النَّبِيُّ n بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ:
شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ عَنْ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ
“Nabi n shalat dua rakaat setelah ashar dan mengatakan,
‘Orang-orang dari Abdul Qais menyibukkan aku dari mengerjakan shalat
sunnah dua raka’at setelah zuhur’.” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq
dalam Shahih-nya, kitab Mawaqitush Shalah, bab Ma Yushalla ba’dal ‘Ashri
minal Fawait wa Nahwiha)
2 Pendapat inilah yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Senin, 13 Mei 2013
Foto Hot Poppy Bunga Mandi Beredar di Internet
Foto Hot Poppy Bunga Mandi Beredar di Internet: Entah dengan alasan untuk mendongkrak promosi film semata, atau hanyalah sebuah kebetulan, tiga foto hot artis Poppy Bunga yang seda...
Senin, 07 Mei 2012
Langganan:
Postingan (Atom)