Minggu, 26 Mei 2013

BEBERAPA PERBEDAAN SYI'AH DAN AHLUSSUNAH


Mereka Membolehkan ‘Berhubungan’ Dengan Budak Orang Lain


Mereka Membolehkan ‘Berhubungan’ Dengan Budak Orang Lain

Di antara kesesatan Rafidhah adalah: Mereka membolehkan seseorang melakukan jima’ dengan budak orang lain jika pemiliknya mengizinkan. Al-Hulli berkata, “Boleh ‘berhubungan’ dengan budak milik orang lain dengan syarat yang mengizinkannya adalah orang yang bisa memerdekakannya dan sudah diakui hak kepemilikannya, serta budak tersebut halal bagi orang yang akan ‘berhubungan’ dengannya[1].
Cukuplah sebagai bantahan terhadap kebatilan ini adalah firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki.” (QS. Al-Mu`minun: 5-6)
Dan sudah diketahui bersama bahwa ‘berhubungan’ dengan budak orang lain bukanlah pernikahan dan budak itu juga bukan budaknya. Read the rest of this entry »

Nikah Sirri Versi Syiah Rafidhah


Nikah Sirri Versi Syiah Rafidhah

Di antara kesesatan Syiah Rafidhah adalah: Mereka membolehkan nikah tanpa adanya wali dan tanpa saksi-saksi, padahal ini jelas merupakan perbuatan zina. Salah seorang ulama mereka yang bernama Al-Hulli berkata, “Tidak dipersyaratkan adanya wali dalam pernikahan wanita dewasa, dan juga tidak dipersyaratkan adanya saksi-saksi dalam semua akad yang berkenaan dengan pernikahan. Seandainya kedua calon mempelai sengaja menyembunyikan pernikahan mereka, maka pernikahannya tidaklah batal.[1]”
Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لا نِكاحَ إلاَّ بِوَلِيٍّ وَشاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada pernikahan yang syah tanpa adanya wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Asy-Syafi’i, Ath-Thabrani, Ad-Daraquthni, dan Al-Baihaqi[2])
Walaupun sanad hadits ini terputus, akan tetapi para ulama tetap berpendapat dengan kandungannya.
Dari Abu Musa dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لا نِكاحَ إلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada pernikahan yang syah tanpa adanya wali.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmizi, dan Al-Hakim[3])
Al-Hakim berkata, “Riwayat tentangnya telah shahih dari para istri Nabi shallallahu alaihi wasallam seperti: Aisyah dan Zainab bintu Jahsy. Dalam permasalahan ini juga ada hadits dari Ali dia berkata:
لا نِكاحَ إلاَّ بِوَلِيٍّ وَشاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada pernikahan yang syah tanpa adanya wali dan dua orang saksi yang adil.[4]
Juga ada hadits dari Ibnu Abbas[5] dan selainnya.” Lalu beliau membawakan total 30 nama orang sahabat. 

Nikah Mut’ah (Kontrak)


Nikah Mut’ah (Kontrak)
Di antara kesesatan mereka: Mereka membolehkan nikah mut’ah, bahkan mereka menganggapnya lebih baik daripada 70 kali pernikahan sebenarnya (yang syar’i). Salah seorang syaikh mereka yang ekstrim yang bernama Ali bin Al-Ali bahkan membolehkan  11 orang lelaki melakukan mut’ah dengan satu orang wanita dalam satu malam. Jika wanita ini akhirnya hamil dan melahirkan anak, maka kesebelas orang ini harus diundi. Siapa yang namanya terpilih maka anak itu menjadi anaknya.
Saya berkata: Nikah mut’ah ini persis seperti pernikahan ala jahiliah yang telah dibatalkan oleh syariat, sebagaimana yang tersebut dalam Ash-Shahih[1].
Dari Ali dia berkata[2]:
رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ نِكاحِ الْمُتْعَةِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah[3].” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan selainnya[4])
Dan dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiallahu anhu:
أنه صلى الله عليه وسلم أباحَ نِكاحَ الْمُتْعَةِ ثُمَّ حَرَّمَها
Bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam pernah membolehkan nikah mut’ah kemudian beliau mengharamkannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim[5]) Dan Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Saburah[6] dengan lafazh yang mirip dengannya.
Dari Ibnu Umar beliau berkata:
نَهانا عَنْها – يَعْنِي المُتْعَةَ – رسولُ الله صلى الله عليه وسلم
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang kami melakukannya – maksudnya mut’ah -.” (HR. Ath-Thabrani dengan sanad yang kuat[7])
Juga telah dinukil dari Ibnu Abbas pernyataan rujuknya beliau dari pembolehan mut’ah[8]

Imam Harus Ma’shum


Imam Harus Ma’shum

Di antara kesesatan mereka (Rafidhah) adalah: Mereka mensyaratkan seorang imam haruslah orang yang ma’shum (terjaga dari dosa). Mereka juga menyatakan bahwa Allah wajib tidak membiarkan satu pun zaman kosong dari seorang imam yang ma’shum. Lalu mereka membatasi imam[1] yang ma’shum itu hanya pada 12 orang imam mereka[2].
Batilnya aqidah ini, kontradiktifnya, dan bagaimana aqidah ini mengandung adab yang buruk kepada Allah sangat jelas sehingga tidak perlu disebutkan. Dengan pendapat mereka ini, mereka telah membatalkan pensyariatan shalat berjamaah (bersama imam), yang mana shalat berjamaah ini termasuk dari syiar-syiar Islam yang tertinggi. Mereka tidak mempunyai bagian dari syiar ini[3], sehingga mereka mengharamkan kemuliaan yang tinggi ini dari diri mereka sendiri. Read the rest of this entry »

Menjamak Dua Shalat Tanpa Uzur

J
Menjamak Dua Shalat Tanpa Uzur

Di antara kesesatan mereka adalah mereka membolehkan untuk menjamak antara zuhur dengan ashar dan antara magrib dengan isya tanpa ada uzur.
Padahal At-Tirmizi telah meriwayatkan dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الْكَبَائِرِ
“Barangsiapa menjamak antara dua shalat tanpa udzur, maka ia telah mendatangi salah satu pintu dari pintu pintu dosa besar.[1]“
Dan juga ada riwayat yang menyebutkan bahwa di antara tanda-tanda hari kiamat adalah mengundurkan pelaksanaan shalat dari waktu-waktunya. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu bahwa beliau menjamak antara dua ashar (baca: Zuhur dengan ashar) dan antara dua isya (baca: Magrib dengan isya)[2], maka ditafsirkan bahwa beliau mengerjakan shalat yang pertama di akhir waktu dan mengerjakan shalat yang kedua di awal waktu (sehingga seakan-akan dijamak, pent.) Wallahu a’lam.

Mereka Menambah-Nambah Lafazh Azan


Mereka Menambah-Nambah Lafazh Azan
Di antara kesesatan mereka adalah:
Pada zaman-zaman belakangan ini, mereka menambahkan pada bacaan azan, iqamah, dan bacaan tasyahud setelah dua kalimat syahadat, mereka menambahkan kalimat: ‘Bahwa Ali adalah wali Allah’.
Ini adalah bid’ah yang bertentangan dengan agama, tidak ada satu pun dalil dari kitab dan sunnah yang menunjukkan tambahan kalimat ini. Juga tidak ada ijma’ yang mendukungnya, tidak pula qias yang benar. Bahkan hal ini juga bertentangan dengan pengikut mazhab mereka. Karenanya kesesatan ini tidak perlu dibantah(1).
[Diterjemah dari Risalah fii Ar-Radd ala Ar-Rafidhah hal. 84-85]
__________________
(1) Di antara kalimat yang Syiah tambahkan ke dalam lafazh-lafazh azan adalah, ‘Hayya ‘ala khairil ‘amal’ (mari menuju amalan yang terbaik), yakni shalat. Dan ini merupakan bid’ah.
Ibnu Taimiah berkata dalam Minhaj As-Sunnah (6/293-294), “Mereka -maksudnya Rafidhah- telah menambahkan dalam azan suatu syiar (kalimat) yang tidak pernah diketahui adanya pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tidak ada seorang pun yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan hal itu dalam azan. Kalimat yang dimaksud adalah: ‘Hayya ‘ala khairil ‘amal’.”

Mereka Meyakini Ar-Raj’ah (Reinkarnasi)


Mereka Meyakini Ar-Raj’ah[i] (Reinkarnasi)
(Diantara kesesatan Syi’ah Rafidhah) : adalah apa yang telah diucapkan oleh orang yang paling sesat di kalangan mereka yaitu Muhammad Baabuuyah Al-Qummiy[ii] tentang akidahnya  dalam pembahasan keimanan terhadap Ar-Raj’ah(reinkarnasi) :
“Sesungguhnya mereka(para Nabi) –semoga shalawat terlimpahkan atas mereka- mengatakan : barangsiapa yang tidak mengimani reinkarnasi kami maka ia tidak termasuk golongan kami”
Seluruh ulama mereka (Syi’ah Rafidhah) berpendapat seperti ini, mereka mengatakan  :
“Sesungguhnya Nabi  shallallahu’alaihiwasallam, Ali radhiyallahu anhu dan para imam yang dua belas orang itu akan hidup kembali pada akhir zaman dan akan dikumpulkan setelah keluarnya Al-Mahdi dan membunuh Dajjal, dan akan dihidupkan seluruh khalifah yang tersisa (Abu Bakar, Umar & Utsman radhiyallahu ‘anhum) dan para imam yang terbunuh, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan membunuh para khalifah sebagai hukum had dan para imam akan mengqishash dan menshalib orang-orang yang dzalim, mereka mulai dengan menshalib Abu Bakar dan Umar di atas pohon”.
 Ada seseorang (di antara mereka) yang mengatakan : “sesungguhnya pohon itu lembab kemudian menjadi kering  setelah keduanya disalib padanya”, dengan demikian tersesatlah kebanyakan dari pengikut kebenaran seraya berkata : “kita telah mendzalimi mereka”
Ada pula yang mengatakan : “pohon itu kering kemudian menghijau setelah keduanya disalib, dengan demikian kebanyakan dari orang-orang yang mencintai keduanya mendapatkan hidayah”.
Disebutkan pada buku-buku mereka bahwasanya pohon itu adalah pohon kurma yang sangat tinggi sehingga dapat dilihat oleh penduduk timur dan barat, dan setelah itu dunia ini akan tetap ada sampai  lima puluh ribu tahun (akan datang), ada yang mengatakan seratus dua puluh ribu tahun, bagi setiap Imam yang dua belas itu memiliki umur dua belas ribu tahun, sebagian mereka mengatakan : “kecuali Al-Mahdi, ia hanya memiliki umur delapan puluh ribu tahun, kemudian setelah itu Nabi Adam dihidupkan, kemudian Asy-Syiitsiy, Nabi Idris, Nabi Nuh, kemudian para nabi yang tersisa hingga berakhir dengan Al-Mahdi, dunia ini (menurut Syi’ah Rafidhah) tidak akan punah dan akhirat itu tidak akan datang”.
Demikian hal ini dinukil darinya wallahu a’lam. 

Mereka Menyelisihi Ahlussunnah Wal Jama’ah


Mereka Menyelisihi Ahlussunnah Wal Jama’ah
Mereka menjadikan penyelisihan mereka terhadapa Ahlussunnah yaitu orang-orang yang berada di atas tuntutunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya sebagai sumber kebahagiaan, sehingga  apa saja yang dikerjakan oleh Ahlussunnah maka mereka akan tinggalkan, (dan sebaliknya) jika (Ahlussunnah) meninggalkan sesuatu maka mereka mengerjakannya dengannya mereka keluar dari Agama secara garis besar, sesungguhnya syaithan telah menggoda dan menuntun mereka , dan mereka mengklaim bahawa penyelisihan ini merupakan alamat bahwa mereka adalah Firqoh An-Najiyyah(kelompok yang selamat). [Lihat Ramadhatul Jannaat 6/306]
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda : “Al-Firqoh An-Najiyah(kelompok yang selamat itu adalah Sawadul A’dzom(kelompok terbesar) dan apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya”.[1
Maka hendaknya diperhatikan kelompok-kelompok tersebut, keyakinan(akidah) dan amalan mereka, jika mencocoki (tuntunan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya maka ia merupakan Al-Firqoh An-Najiyah(kelompok yang selamat). 

Selain Mereka Akan Kekal Dalam Neraka


Selain Mereka Akan Kekal Dalam Neraka
Di antara ucapan mereka  sebagaimana dalam (kitab) “syarah At-Tajriid” Al-Hulliy (tokoh besar syi’ah) mengatakan :
“Imam-imam (Syi’ah Rafidhah) berselisih tentang : apakah firqoh-firqoh(selain Rafidhah) dalam Islam itu akan keluar dari Neraka dan akan masuk ke Surga ataukah semua firqoh itu akan kekal dalam Neraka?”, ia berkata : kebanyakan (Imam Syi’ah Rafidhah) di atas pendapat kedua dan Asy-Syardzamah memilih pendapaat pertama, Ibnu Naubakhat berkata : “mereka akan keluar dari Neraka dan tidak akan masuk ke Surga akan tetapi mereka berada di Al-A’raaf.  (Mukhtashar At-Tuhfah Al-Itsnaa ‘Asyariyah : halaman 207).
Keyakinan ini dibangun di atas dasar akidah mereka bahwasanya kaum muslimin (selain mereka) adalah kafir atau fasiq, yang bersamaan dengan itu mereka meyakini bahwasanya orang yang fasik kekal di dalam neraka. Konsekwensi dari keyakinan mereka adalah mendustakan apa-apa yang telah shahih  dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa  keluarnya pelaku maksiat dari kalangan orang-orang yang bertauhid dari neraka, sebagaimana dalam hadits Anas radihyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Akan keluar dari neraka suatu kaum setelah mereka di bakar dalam neraka, kemudian mereka akan masuk ke dalam surga. Penduduk surga menamakan mereka dengan  Jahannamiyyun” (riwayat Al-Bukhary nomor 6559). 

Al-Hasan Radhiallahu anhu Tidak Mempunyai Keturunan


Al-Hasan Radhiallahu anhu Tidak Mempunyai Keturunan[1]
Di antara ucapan mereka adalah bahwa Al-Hasan bin Ali tidak mempunyai penerus keturunan, bahwa keturunan beliau sudah tidak ada, dan bahwa tidak ada seorang pun dari penerus keturunannya yang laki-laki.
Ucapan ini tersebar di kalangan mereka dan mereka bersepakat di atasnya sehingga tidak perlu untuk dibuktikan, demikian komentar mereka. Di antara mereka ada yang mengklaim bahwa … (tidak jelas maksudnya) semuanya sama seperti mereka. Mereka menggunakan ucapan ini untuk bisa sampai kepada tujuan mereka yaitu membatasi ke’imam’an hanya pada anak keturunan Al-Husain[2], dan di antara anak keturunannya adalah kedua belas imam itu. Dengannya mereka bertujuan untuk membatalkan ke’imam’an para ulama yang berdakwah dari kalangan anak keturunan Al-Hasan, bersamaan dengan keutamaan mereka, terpenuhinya syarat-syarat ke’imam’an pada mereka, orang-orang telah membaiat mereka, syahnya penisbatan keluarga mereka kepada Al-Hasan, dan tersebarnya ilmu mereka, dimana mereka semua telah mencapai derajat mujtahid mutlak. Maka semoga Allah membinasakan mereka atas kedustaan yang mereka ada-adakan tersebut.
Perhatikanlah mereka musuh-musuh ahlul bait yang mengganggu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan Fathimah, ketika mereka mengingkari nasab orang yang terbukti syah nasabnya secara pasti dari anak keturunan Al-Hasan radhiallahu anhu, dan kebenaran penisbatan keturunannya telah mutawatir[3] dan tidak tersembunyi dari setiap orang yang mempunyai ilmu dalam masalah ini. Dan sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menggolongkan perbuatan mencela nasab termasuk dari perbuatan-perbuatan jahiliah[4]. Dan telah datang dalam sebuah riwayat yang menunjukkan bahwa Imam Mahdi itu berasal dari anak keturunan Al-Hasan radhiallahu anhu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan selainnya[5]. Read the rest of this entry »

WAKTU YANG DI LARANG MELAKUKAN SHOLAT

 ALASAN TIDAK DI PERBOLEH KAN SHOLAT PADA WAKTU - WAKTU TERTENTU

‘Uqbah bin ‘Amir z berkata:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ n يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّف لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada tiga waktu di mana Nabi n melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim no. 1926)
Dalam hadits di atas kita pahami ada tiga waktu yang terlarang bagi kita untuk melaksanakan shalat di waktu tersebut, yaitu:
1. Ketika matahari terbit sampai tinggi
2. Saat matahari di tengah langit, ketika tidak ada bayangan benda di timur dan di barat
3. Ketika matahari hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam

Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri z disebutkan, termasuk waktu yang dilarang untuk shalat adalah setelah shalat subuh sampai matahari tinggi dan setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam. Rasulullah n bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)
Adapun sebab dilarangnya shalat di tiga waktu di atas (pada hadits ‘Uqbah bin ‘Amir z) disebutkan dalam hadits berikut ini:
‘Amr bin ‘Abasah z mengabarkan tentang pertemuannya dengan Nabi n di Madinah setelah sebelumnya ia pernah bertemu dengan beliau ketika masih bermukim di Makkah. Saat bertemu di Madinah ini, ‘Amr bertanya kepada beliau tentang shalat maka beliau memberi jawaban:
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ؛ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُوْرَةٌ، حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ حِيْنَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ. فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُوْدَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari. Kemudian shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga tombak tidak memiliki bayangan, kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat karena ketika itu neraka Jahannam dinyalakan/dibakar dengan nyala yang sangat. Apabila telah datang bayangan (yang jatuh ke arah timur/saat matahari zawal) shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mengerjakan shalat ashar (terus boleh mengerjakan shalat sampai selesai shalat ashar, pent.), kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat hingga matahari tenggelam karena matahari tenggelam di antara dua tanduk syaitan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.” (HR. Muslim no. 1927)
Al-Imam An Nawawi t berkata, “Umat sepakat tentang dibencinya shalat yang dikerjakan tanpa sebab pada waktu-waktu terlarang tersebut. Mereka juga sepakat bolehnya mengerjakan shalat fardhu yang ditunaikan pada waktu-waktu terlarang tersebut. Adapun untuk shalat nawafil (shalat sunnah) yang dikerjakan karena ada sebab, mereka berbeda pendapat. Seperti shalat tahiyatul masjid, sujud tilawah dan sujud syukur, shalat id, shalat kusuf (gerhana), shalat jenazah dan mengqadha shalat yang luput dikerjakan. Mazhab Asy-Syafi’i dan satu kelompok membolehkan semua itu tanpa ada karahah (kemakruhan). Mazhab Abu Hanifah dan yang lainnya memandang semuanya masuk ke dalam larangan karena keumuman hadits-hadits yang melarang. Al-Imam Asy-Syafi’i t dan orang-orang yang sependapat dengannya berargumen bahwa telah tsabit (shahih) dari perbuatan Nabi n bahwa beliau mengqadha shalat sunnah yang mengikuti shalat zuhur setelah shalat ashar1. Ini jelas menunjukkan tentang bolehnya mengqadha shalat sunnah yang luput dikerjakan pada waktunya. Tentunya kebolehan untuk mengerjakan shalat sunnah yang memang pada waktunya lebih utama lagi. Dan mengerjakan shalat faridhah (wajib) yang diqadha karena luput dari waktunya lebih utama lagi. Termasuk dalam kebolehan ini adalah shalat yang dikerjakan karena ada sebab.” (Al-Minhaj, 6/351)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata setelah membawakan ucapan Al-Imam An-Nawawi t di atas, “Penukilan ijma’ dan kesepakatan oleh Al-Imam Nawawi perlu dikomentari. Karena, selain beliau telah menghikayatkan dari sekelompok salaf tentang bolehnya shalat di waktu-waktu terlarang secara mutlak sementara hadits-hadits yang melarang tersebut mansukh (dihapus hukumnya) –menurut pendapat Dawud dan selainnya dari ahlu zahir, dan ini yang dipastikan oleh Ibnu Hazm t–; ada pula penghikayatan dari kelompok yang lain tentang larangan secara mutlak dalam seluruh shalat. Didapatkan adanya berita yang shahih dari Abu Bakrah dan Ka’b bin Ujrah tentang larangan mengerjakan shalat fardhu pada waktu-waktu terlarang ini. Ulama yang lainnya menghikayatkan adanya ijma’ tentang bolehnya shalat jenazah di waktu-waktu yang makruh. Namun pendapat ini perlu dikomentari dengan penjelasan yang akan datang pada babnya. Ibnu Hazm t dan selainnya ketika menyatakan mansukh-nya hadits yang menyebutkan waktu-waktu terlarang shalat, mereka bersandar dengan hadits:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَلْيُصَلِّ إِلَيْهَا أُخْرَى
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka hendaklah ia mengerjakan rakaat yang berikutnya.”
Maka ini menunjukkan bolehnya shalat pada waktu-waktu yang dilarang.
Namun yang lainnya mengatakan, “Pengkhususan (takhshish) lebih utama daripada menganggap adanya naskh. Sehingga pelarangan ini dibawa kepada pemahaman bahwa yang dilarang adalah shalat yang dikerjakan tanpa adanya sebab. Adapun shalat yang memiliki sebab maka dikhususkan dari pelarangan (yakni boleh dilakukan di waktu-waktu terlarang, pent.) dalam rangka menggabungkan di antara dalil-dalil yang ada.” (Fathul Bari, 2/78)
Penulis Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang shalat di waktu-waktu terlarang. Jumhur ulama berpandangan dibencinya mengerjakan shalat di waktu tersebut. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang shahih ini dan selainnya. Zahiriyah berpandangan bolehnya shalat di waktu tersebut. Adapun hadits-hadits yang melarang, mereka mengatakannya mansukh. Namun semua hadits yang mereka anggap mansukh, ulama menjadikannya termasuk bab membawa nash yang muthlaq kepada yang muqayyad, atau membangun yang khusus di atas yang umum. Tidak perlu menghukumi mansukh kecuali bila nash-nash tersebut tidak mungkin dikumpulkan/digabungkan. Sementara nash-nash dalam masalah ini mungkin bahkan mudah dikumpulkan.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, shalat apa sajakah yang dilarang untuk dikerjakan di waktu-waktu tersebut?
Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah berpandangan yang dilarang adalah seluruh shalat sunnah kecuali dua rakaat thawaf. Mereka berdalil dengan keumuman larangan yang disebutkan dalam hadits-hadits.
Asy-Syafi’iyyah dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, serta pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan sekelompok muridnya, yang dilarang adalah shalat-shalat sunnah yang dikerjakan tanpa sebab. Adapun yang memiliki sebab seperti shalat tahiyatul masjid bagi orang yang masuk masjid, shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu, maka dibolehkan ketika ada sebabnya di waktu apa saja. Dalil mereka dalam hal ini adalah hadits-hadits khusus yang menyebutkan tentang shalat-shalat ini sebagai pengkhususan bagi hadits-hadits yang berisi pelarangan secara umum2.
Dengan pendapat ini terkumpullah dalil-dalil seluruhnya dan bisa diamalkan seluruh hadits dari dua pihak yang berbeda pendapat.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, apakah larangan yang ada dimulai pada waktu subuh dari mulai terbitnya fajar kedua atau dimulai dari pengerjaan shalat subuhnya?
Hanafiyyah berpendapat pelarangan dimulai dari waktu terbitnya fajar kedua. Pendapat ini juga masyhur dari mazhab Hanabilah. Mereka berdalil dengan beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Ashabus Sunan Al-Arba’ah (penulis kitab Sunan yang empat) dari Ibnu ‘Umar c, “Bahwasanya Nabi n bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْفَجْرِ إِلاَّ سَجْدَتَيْنِ
“Tidak ada shalat setelah fajar kecuali dua sujud (shalat dua rakaat).”
Hadits ini menunjukkan haramnya mengerjakan shalat sunnah setelah terbitnya fajar kecuali dua rakaat qabliyah fajar. Karena yang dimaukan dari penafian (peniadaan dalam hadits di atas dengan lafadz: “Tidak ada shalat….”-pent.) adalah pelarangan. Mayoritas ulama berpendapat larangan dimulai dari selesai pelaksanaan shalat fajar (yakni tidak ada shalat sunnah yang dikerjakan setelah mengerjakan shalat fajar/subuh, pent.) bukan dimulai dari terbitnya fajar. Mereka berdalil dengan beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Sa’id z:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari ‘Umar ibnul Khaththab z, bahwasanya Nabi n bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits-hadits selainnya yang banyak lagi shahih.
Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama, ada maqal (masih diperbincangkan). Tidak bisa dihadapkan dengan semisal hadits-hadits ini.” (Taisirul ‘Allam, 1/129)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Ummu Salamah x berkata:
صَلَّى النَّبِيُّ n بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ: شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ عَنْ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ
“Nabi n shalat dua rakaat setelah ashar dan mengatakan, ‘Orang-orang dari Abdul Qais menyibukkan aku dari mengerjakan shalat sunnah dua raka’at setelah zuhur’.” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya, kitab Mawaqitush Shalah, bab Ma Yushalla ba’dal ‘Ashri minal Fawait wa Nahwiha)
2 Pendapat inilah yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.