Minggu, 26 Mei 2013

BEBERAPA PERBEDAAN SYI'AH DAN AHLUSSUNAH


Mereka Membolehkan ‘Berhubungan’ Dengan Budak Orang Lain


Mereka Membolehkan ‘Berhubungan’ Dengan Budak Orang Lain

Di antara kesesatan Rafidhah adalah: Mereka membolehkan seseorang melakukan jima’ dengan budak orang lain jika pemiliknya mengizinkan. Al-Hulli berkata, “Boleh ‘berhubungan’ dengan budak milik orang lain dengan syarat yang mengizinkannya adalah orang yang bisa memerdekakannya dan sudah diakui hak kepemilikannya, serta budak tersebut halal bagi orang yang akan ‘berhubungan’ dengannya[1].
Cukuplah sebagai bantahan terhadap kebatilan ini adalah firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki.” (QS. Al-Mu`minun: 5-6)
Dan sudah diketahui bersama bahwa ‘berhubungan’ dengan budak orang lain bukanlah pernikahan dan budak itu juga bukan budaknya. Read the rest of this entry »

Nikah Sirri Versi Syiah Rafidhah


Nikah Sirri Versi Syiah Rafidhah

Di antara kesesatan Syiah Rafidhah adalah: Mereka membolehkan nikah tanpa adanya wali dan tanpa saksi-saksi, padahal ini jelas merupakan perbuatan zina. Salah seorang ulama mereka yang bernama Al-Hulli berkata, “Tidak dipersyaratkan adanya wali dalam pernikahan wanita dewasa, dan juga tidak dipersyaratkan adanya saksi-saksi dalam semua akad yang berkenaan dengan pernikahan. Seandainya kedua calon mempelai sengaja menyembunyikan pernikahan mereka, maka pernikahannya tidaklah batal.[1]”
Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لا نِكاحَ إلاَّ بِوَلِيٍّ وَشاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada pernikahan yang syah tanpa adanya wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Asy-Syafi’i, Ath-Thabrani, Ad-Daraquthni, dan Al-Baihaqi[2])
Walaupun sanad hadits ini terputus, akan tetapi para ulama tetap berpendapat dengan kandungannya.
Dari Abu Musa dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لا نِكاحَ إلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada pernikahan yang syah tanpa adanya wali.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmizi, dan Al-Hakim[3])
Al-Hakim berkata, “Riwayat tentangnya telah shahih dari para istri Nabi shallallahu alaihi wasallam seperti: Aisyah dan Zainab bintu Jahsy. Dalam permasalahan ini juga ada hadits dari Ali dia berkata:
لا نِكاحَ إلاَّ بِوَلِيٍّ وَشاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada pernikahan yang syah tanpa adanya wali dan dua orang saksi yang adil.[4]
Juga ada hadits dari Ibnu Abbas[5] dan selainnya.” Lalu beliau membawakan total 30 nama orang sahabat. 

Nikah Mut’ah (Kontrak)


Nikah Mut’ah (Kontrak)
Di antara kesesatan mereka: Mereka membolehkan nikah mut’ah, bahkan mereka menganggapnya lebih baik daripada 70 kali pernikahan sebenarnya (yang syar’i). Salah seorang syaikh mereka yang ekstrim yang bernama Ali bin Al-Ali bahkan membolehkan  11 orang lelaki melakukan mut’ah dengan satu orang wanita dalam satu malam. Jika wanita ini akhirnya hamil dan melahirkan anak, maka kesebelas orang ini harus diundi. Siapa yang namanya terpilih maka anak itu menjadi anaknya.
Saya berkata: Nikah mut’ah ini persis seperti pernikahan ala jahiliah yang telah dibatalkan oleh syariat, sebagaimana yang tersebut dalam Ash-Shahih[1].
Dari Ali dia berkata[2]:
رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ نِكاحِ الْمُتْعَةِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah[3].” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan selainnya[4])
Dan dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiallahu anhu:
أنه صلى الله عليه وسلم أباحَ نِكاحَ الْمُتْعَةِ ثُمَّ حَرَّمَها
Bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam pernah membolehkan nikah mut’ah kemudian beliau mengharamkannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim[5]) Dan Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Saburah[6] dengan lafazh yang mirip dengannya.
Dari Ibnu Umar beliau berkata:
نَهانا عَنْها – يَعْنِي المُتْعَةَ – رسولُ الله صلى الله عليه وسلم
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang kami melakukannya – maksudnya mut’ah -.” (HR. Ath-Thabrani dengan sanad yang kuat[7])
Juga telah dinukil dari Ibnu Abbas pernyataan rujuknya beliau dari pembolehan mut’ah[8]

Imam Harus Ma’shum


Imam Harus Ma’shum

Di antara kesesatan mereka (Rafidhah) adalah: Mereka mensyaratkan seorang imam haruslah orang yang ma’shum (terjaga dari dosa). Mereka juga menyatakan bahwa Allah wajib tidak membiarkan satu pun zaman kosong dari seorang imam yang ma’shum. Lalu mereka membatasi imam[1] yang ma’shum itu hanya pada 12 orang imam mereka[2].
Batilnya aqidah ini, kontradiktifnya, dan bagaimana aqidah ini mengandung adab yang buruk kepada Allah sangat jelas sehingga tidak perlu disebutkan. Dengan pendapat mereka ini, mereka telah membatalkan pensyariatan shalat berjamaah (bersama imam), yang mana shalat berjamaah ini termasuk dari syiar-syiar Islam yang tertinggi. Mereka tidak mempunyai bagian dari syiar ini[3], sehingga mereka mengharamkan kemuliaan yang tinggi ini dari diri mereka sendiri. Read the rest of this entry »

Menjamak Dua Shalat Tanpa Uzur

J
Menjamak Dua Shalat Tanpa Uzur

Di antara kesesatan mereka adalah mereka membolehkan untuk menjamak antara zuhur dengan ashar dan antara magrib dengan isya tanpa ada uzur.
Padahal At-Tirmizi telah meriwayatkan dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الْكَبَائِرِ
“Barangsiapa menjamak antara dua shalat tanpa udzur, maka ia telah mendatangi salah satu pintu dari pintu pintu dosa besar.[1]“
Dan juga ada riwayat yang menyebutkan bahwa di antara tanda-tanda hari kiamat adalah mengundurkan pelaksanaan shalat dari waktu-waktunya. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu bahwa beliau menjamak antara dua ashar (baca: Zuhur dengan ashar) dan antara dua isya (baca: Magrib dengan isya)[2], maka ditafsirkan bahwa beliau mengerjakan shalat yang pertama di akhir waktu dan mengerjakan shalat yang kedua di awal waktu (sehingga seakan-akan dijamak, pent.) Wallahu a’lam.

Mereka Menambah-Nambah Lafazh Azan


Mereka Menambah-Nambah Lafazh Azan
Di antara kesesatan mereka adalah:
Pada zaman-zaman belakangan ini, mereka menambahkan pada bacaan azan, iqamah, dan bacaan tasyahud setelah dua kalimat syahadat, mereka menambahkan kalimat: ‘Bahwa Ali adalah wali Allah’.
Ini adalah bid’ah yang bertentangan dengan agama, tidak ada satu pun dalil dari kitab dan sunnah yang menunjukkan tambahan kalimat ini. Juga tidak ada ijma’ yang mendukungnya, tidak pula qias yang benar. Bahkan hal ini juga bertentangan dengan pengikut mazhab mereka. Karenanya kesesatan ini tidak perlu dibantah(1).
[Diterjemah dari Risalah fii Ar-Radd ala Ar-Rafidhah hal. 84-85]
__________________
(1) Di antara kalimat yang Syiah tambahkan ke dalam lafazh-lafazh azan adalah, ‘Hayya ‘ala khairil ‘amal’ (mari menuju amalan yang terbaik), yakni shalat. Dan ini merupakan bid’ah.
Ibnu Taimiah berkata dalam Minhaj As-Sunnah (6/293-294), “Mereka -maksudnya Rafidhah- telah menambahkan dalam azan suatu syiar (kalimat) yang tidak pernah diketahui adanya pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tidak ada seorang pun yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan hal itu dalam azan. Kalimat yang dimaksud adalah: ‘Hayya ‘ala khairil ‘amal’.”

Mereka Meyakini Ar-Raj’ah (Reinkarnasi)


Mereka Meyakini Ar-Raj’ah[i] (Reinkarnasi)
(Diantara kesesatan Syi’ah Rafidhah) : adalah apa yang telah diucapkan oleh orang yang paling sesat di kalangan mereka yaitu Muhammad Baabuuyah Al-Qummiy[ii] tentang akidahnya  dalam pembahasan keimanan terhadap Ar-Raj’ah(reinkarnasi) :
“Sesungguhnya mereka(para Nabi) –semoga shalawat terlimpahkan atas mereka- mengatakan : barangsiapa yang tidak mengimani reinkarnasi kami maka ia tidak termasuk golongan kami”
Seluruh ulama mereka (Syi’ah Rafidhah) berpendapat seperti ini, mereka mengatakan  :
“Sesungguhnya Nabi  shallallahu’alaihiwasallam, Ali radhiyallahu anhu dan para imam yang dua belas orang itu akan hidup kembali pada akhir zaman dan akan dikumpulkan setelah keluarnya Al-Mahdi dan membunuh Dajjal, dan akan dihidupkan seluruh khalifah yang tersisa (Abu Bakar, Umar & Utsman radhiyallahu ‘anhum) dan para imam yang terbunuh, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan membunuh para khalifah sebagai hukum had dan para imam akan mengqishash dan menshalib orang-orang yang dzalim, mereka mulai dengan menshalib Abu Bakar dan Umar di atas pohon”.
 Ada seseorang (di antara mereka) yang mengatakan : “sesungguhnya pohon itu lembab kemudian menjadi kering  setelah keduanya disalib padanya”, dengan demikian tersesatlah kebanyakan dari pengikut kebenaran seraya berkata : “kita telah mendzalimi mereka”
Ada pula yang mengatakan : “pohon itu kering kemudian menghijau setelah keduanya disalib, dengan demikian kebanyakan dari orang-orang yang mencintai keduanya mendapatkan hidayah”.
Disebutkan pada buku-buku mereka bahwasanya pohon itu adalah pohon kurma yang sangat tinggi sehingga dapat dilihat oleh penduduk timur dan barat, dan setelah itu dunia ini akan tetap ada sampai  lima puluh ribu tahun (akan datang), ada yang mengatakan seratus dua puluh ribu tahun, bagi setiap Imam yang dua belas itu memiliki umur dua belas ribu tahun, sebagian mereka mengatakan : “kecuali Al-Mahdi, ia hanya memiliki umur delapan puluh ribu tahun, kemudian setelah itu Nabi Adam dihidupkan, kemudian Asy-Syiitsiy, Nabi Idris, Nabi Nuh, kemudian para nabi yang tersisa hingga berakhir dengan Al-Mahdi, dunia ini (menurut Syi’ah Rafidhah) tidak akan punah dan akhirat itu tidak akan datang”.
Demikian hal ini dinukil darinya wallahu a’lam. 

Mereka Menyelisihi Ahlussunnah Wal Jama’ah


Mereka Menyelisihi Ahlussunnah Wal Jama’ah
Mereka menjadikan penyelisihan mereka terhadapa Ahlussunnah yaitu orang-orang yang berada di atas tuntutunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya sebagai sumber kebahagiaan, sehingga  apa saja yang dikerjakan oleh Ahlussunnah maka mereka akan tinggalkan, (dan sebaliknya) jika (Ahlussunnah) meninggalkan sesuatu maka mereka mengerjakannya dengannya mereka keluar dari Agama secara garis besar, sesungguhnya syaithan telah menggoda dan menuntun mereka , dan mereka mengklaim bahawa penyelisihan ini merupakan alamat bahwa mereka adalah Firqoh An-Najiyyah(kelompok yang selamat). [Lihat Ramadhatul Jannaat 6/306]
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda : “Al-Firqoh An-Najiyah(kelompok yang selamat itu adalah Sawadul A’dzom(kelompok terbesar) dan apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya”.[1
Maka hendaknya diperhatikan kelompok-kelompok tersebut, keyakinan(akidah) dan amalan mereka, jika mencocoki (tuntunan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya maka ia merupakan Al-Firqoh An-Najiyah(kelompok yang selamat). 

Selain Mereka Akan Kekal Dalam Neraka


Selain Mereka Akan Kekal Dalam Neraka
Di antara ucapan mereka  sebagaimana dalam (kitab) “syarah At-Tajriid” Al-Hulliy (tokoh besar syi’ah) mengatakan :
“Imam-imam (Syi’ah Rafidhah) berselisih tentang : apakah firqoh-firqoh(selain Rafidhah) dalam Islam itu akan keluar dari Neraka dan akan masuk ke Surga ataukah semua firqoh itu akan kekal dalam Neraka?”, ia berkata : kebanyakan (Imam Syi’ah Rafidhah) di atas pendapat kedua dan Asy-Syardzamah memilih pendapaat pertama, Ibnu Naubakhat berkata : “mereka akan keluar dari Neraka dan tidak akan masuk ke Surga akan tetapi mereka berada di Al-A’raaf.  (Mukhtashar At-Tuhfah Al-Itsnaa ‘Asyariyah : halaman 207).
Keyakinan ini dibangun di atas dasar akidah mereka bahwasanya kaum muslimin (selain mereka) adalah kafir atau fasiq, yang bersamaan dengan itu mereka meyakini bahwasanya orang yang fasik kekal di dalam neraka. Konsekwensi dari keyakinan mereka adalah mendustakan apa-apa yang telah shahih  dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa  keluarnya pelaku maksiat dari kalangan orang-orang yang bertauhid dari neraka, sebagaimana dalam hadits Anas radihyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Akan keluar dari neraka suatu kaum setelah mereka di bakar dalam neraka, kemudian mereka akan masuk ke dalam surga. Penduduk surga menamakan mereka dengan  Jahannamiyyun” (riwayat Al-Bukhary nomor 6559). 

Al-Hasan Radhiallahu anhu Tidak Mempunyai Keturunan


Al-Hasan Radhiallahu anhu Tidak Mempunyai Keturunan[1]
Di antara ucapan mereka adalah bahwa Al-Hasan bin Ali tidak mempunyai penerus keturunan, bahwa keturunan beliau sudah tidak ada, dan bahwa tidak ada seorang pun dari penerus keturunannya yang laki-laki.
Ucapan ini tersebar di kalangan mereka dan mereka bersepakat di atasnya sehingga tidak perlu untuk dibuktikan, demikian komentar mereka. Di antara mereka ada yang mengklaim bahwa … (tidak jelas maksudnya) semuanya sama seperti mereka. Mereka menggunakan ucapan ini untuk bisa sampai kepada tujuan mereka yaitu membatasi ke’imam’an hanya pada anak keturunan Al-Husain[2], dan di antara anak keturunannya adalah kedua belas imam itu. Dengannya mereka bertujuan untuk membatalkan ke’imam’an para ulama yang berdakwah dari kalangan anak keturunan Al-Hasan, bersamaan dengan keutamaan mereka, terpenuhinya syarat-syarat ke’imam’an pada mereka, orang-orang telah membaiat mereka, syahnya penisbatan keluarga mereka kepada Al-Hasan, dan tersebarnya ilmu mereka, dimana mereka semua telah mencapai derajat mujtahid mutlak. Maka semoga Allah membinasakan mereka atas kedustaan yang mereka ada-adakan tersebut.
Perhatikanlah mereka musuh-musuh ahlul bait yang mengganggu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan Fathimah, ketika mereka mengingkari nasab orang yang terbukti syah nasabnya secara pasti dari anak keturunan Al-Hasan radhiallahu anhu, dan kebenaran penisbatan keturunannya telah mutawatir[3] dan tidak tersembunyi dari setiap orang yang mempunyai ilmu dalam masalah ini. Dan sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menggolongkan perbuatan mencela nasab termasuk dari perbuatan-perbuatan jahiliah[4]. Dan telah datang dalam sebuah riwayat yang menunjukkan bahwa Imam Mahdi itu berasal dari anak keturunan Al-Hasan radhiallahu anhu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan selainnya[5]. Read the rest of this entry »

Tidak ada komentar:

Posting Komentar